Gili Meno

Ketika Laut Mengganas

Oleh: Muhammad Imran | Komunitas pasirputih Lombok

Hari itu,  8 Agustus 2015, tepatnya pukul 2 siang. Aku sedang mempersiapkan barang-barang bawwanku. Sebab, satu jam lagi public-boat dari Gili Meno ke Pelabuhan Bangsal Bangsal akan berangkat. Di Gili Meno, jika memang kita ingin menggunaka jasa public-boat, kita sedari awal memang harus usdah siap sedia. Sebab, public-boat sudah terjadwal dan hanya ada jam 8 pagi dan jam 3 sore. Jika kita tidak segera berangkat ke pelabuhan, maka dipastikan kita akan ketinggalan jadwal.

Waktu itu aku berencana pulang ke Pemenang untuk mengikuti kegitan Kemah Remaja dan Komunitas se-Pulau Lombok 2015, yang di gagas oleh Komunitas pasirputih. Kegiatan ini dihajatkan sebagai ajang silaturrahim antar komunitas dan juga remaja yang ada di Pulau Lombok. Selain itu, kegiatan ini juga dalam upaya Komunitas pasirputih mengkampanyekan Media Sehat. Teman-teman panitia mempercayakan kepadaku mengurus masalah kelistrikan untuk acara itu.

Saking asyiknya mempersiapkan perlengkapan, tak terasa setengah jam sudah berlalu. jadwal pemberangkatan public-boat dari Gili Meno ke Bangsal tinggal menghitung menit. Sebelum berangkat, aku pamitan dulu kepada istri dan anak tercintaku. Sesudah itu, aku yang langsung berangkat ke pelabuhan yang berlokasi di pesisir pantai sebelah timur Gili Meno. Dengan tergesa-gesa aku melaju sepedaku dengan cepat.

Suara rantai dan roda sepeda yang sedikit berisik, menghiburku selama perjalanan. Sesampainya di Pelabuhan, aku sedikit heran. Terlihat pelabuhan tidak biasa dan tidak sepadat hari-hari biasa. Dengan nafas ngos-san aku bertanya kepada seorang beach boys yang seperti biasanya mereka tidak mengenakan baju. Namanya Rajib. Rajib bukan warga Gili Meno. Dia dan aku berasal dari dusun yang sama.

“Jib, kenapa sepi sekali?”, aku menyapa Rajib dengan akrab.

“Yah, kan… Ombak lagi tidak stabil.”, jawab Rajib sambil tersenyum.

“Berarti lewat Bounty?”

“Kamu mau ke pinggir (istilah untuk menyebrang ke Lombok), Ran?”, tanya rajib padaku.

“Ya Jib. Kamu gak ke pingir?”.

“Gak. Lagi ramai tamu ni..sayang kalau ditiggalin”.

“O… Ya sudah aku jalan dulu”.

Tempat pembelian tiket yang nampak sepi tanpa petugas.

Tempat pembelian tiket yang nampak sepi tanpa petugas.

Tempat biasanya penumpang menunggu pemberangkatan boat.

Tempat biasanya penumpang menunggu pemberangkatan boat di Pelabuhan Gili Meno.

Setelah ngobrol singkat dengan Rajib, aku memutar haluan menuju pantai sebelah barat, yang akrab kami panggil Pantai Bounty,  karna posisi pantainya tepat di depan Hotel Bounty. Dulu, Baounty termasuk  salah satu hotel ternama di Gili Meno, bahkan di Tiga Gili pada umumnya. Tapi sayang Bounty tak lagi kokoh seperti dulu, semenjak Tragedi Bom Bali tahun 2002 yang lalu. Semenjak itu, Bounty tak lagi beroprasi. Kini Bounty hanya  tinggal nama. Bangunan yang dulu kokoh, kini menyisakan puing-puing bangunan yang tak terurus. Yah, demikian sepenggal kisah tentang Bounty, salah satu hotel yang sempat berjaya kala itu.

Meski sebenarnya kalau dilihat, Pulau Gili Meno, jarak antara ujung timur dan barat sebenarnya tidak terlalu jauh, namun tetap saja nafasku sedikit terengah-engah karena mengejar waktu, dan khawatir jika saja aku ketinggalan boat. Akhirnya aku bisa bernapas lega, sebab aku sampai di Bounty lima menit sebelum public boat berangkat. aku langsung menuju loket penjualan tiket sambil memarkir sepedaku.

Tak lama kemudian sebuah announcement terdengar dari loket tiket, yang meng informasikan bahwa public boat sudah penuh dan akan segera diberangkatkan. Seorang operator memandu para penumpang untuk menuju pesisir pantai.

Air pantai saat itu sedang surut setinggi betis orang dewasa. Hal ini menyebabkan boat tidak bersandar di pantai. Maka, kami, para penumpang langsung menuju boat. Para penumpa terus berjalan menuju boat sejauh kurang lebih 100 meter dari bibir pantai. Setelah semua penumpang sudah naik, boat tidak lantas berangkat. Penumpang harus menunggu karna boat yang kami naiki kandas di atas pasir dan karang.  Beberapa menit berlalu, akhirnya boat yang kami tumpangi bisa terapung bebas di permukaan laut, boat melajut mengarungi birunya laut. Hembusan angin menyapu peluh ku. Sejuk. Pemandangan laut yang indah dan suara desir air laut yang diterpa boat menemani kami hingga akhirnya nanti tiba di dermaga Bangsal.

***

Lima hari telah berlalu. Kesibukan selama kegiatan Temu Remaja dan Komunitas membuat hari-hariku menjadi sangat menyenangkan. Sebab memang, kegiatan tersebut diadakan dengan metode kemah di dalam hutan. Setelah semuanya selesai, akupun kembali ke Gili Meno. Aku menggunakan public boat  yang berangkat jam 5 sore,  dengan harga tiket 25 ribu rupiah/orang. Harga ini tidak sama dengan harga tiket public boat pada jam jam 9 atau 10 pagi. Public boat pada jam tersebut bisa kita dapatkan dengan harga hanya 14 ribu saja. Harga yang 25 ribu rupiah itu  dikhususkan untuk public boat tujuan Bangsal ke Gili Meno pada jam 2 dan jam 5  sore, dengan alasan limit penumpang.

sore itu cuaca terlihat bersahabat. Kapten boat membawa kami tanpa terlihat kecemasan di wajahnya. Kami pun berlabuh di labuan utama gili meno di sebelah timur. Setelah turun dari boat aku mulai sadar tentang sepedaku. Aku tak cukup tenang dengan hal itu. Tapi aku memutuskan untuk tidak mengambil sepedaku. Setelah itu,  dengan perasaan capek dan letih aku langsung pulang kerumah. “Kenapa ada plabuhan darurat?” Selama perjalanan, pertanyaan itulah yang menaungi fikiranku. Memang, kalau kita berbicara tentang pelabuhan kita pasti akan akrab dengan pantai, perahu, laut, angin, ombak, cuaca dan lain-lain.

“Penomena ini selalu terjadi”, kata Wak Daeng Sik, bapak dari mertuaku. Perpindahan  pelabuhan ni terjadi ketika cuaca memburuk. Wak Daeng Sik dan warga Gili Meno, menyebut dengan cuaca buruk Ombak Timur, dimana ombak dengan arus yang sangat deras mengarah dari timur ke barat. Ombak Timur ini terjadi setahun sekali dan bisa berlangsung sampai berminggu-minggu. Ombak ini lah yang seringkali merusak pantai dan perahu yang berlabuh di pantai, terutama pantai timur Gili Meno.  Ada juga namanya Ombak Sorong. Namun ombak ini biasa terjadi cuma beberapa hari saja. Meski memang potensi Ombak Sorong juga bisa merusak pantai. Bisa saja perpindahan pelabuhan seperti saat ini terjadi lebih dari satu atau dua kali dalam setahun atau bisa saja lebih. Karena semua itu tergantung cuaca.

IMG-20150902-WA0003

Bibir pantai yang rusak akibat hantaman ombak yang menggila.

Bibir pantai yang rusak akibat hantaman ombak yang menggila.

Malam telah berganti pagi, suara merdu burung dalam sangkar menyambut pagi. Seperti biasa aku, istri dan peri kecilku bercengkrama sambil menyiapkan diri untuk berangkat beraktifitas. Hal itu menambah hangat suasana pagi keluarga kecilku.

Beberapa waktu kemudian akupun berangkat menuju bounty mencari sepedaku dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana, semua terlihat sepi, kosong, tak ada apapun di sana, dan kosong tanpa sepedaku. Aku mulai panik dan mencari di semua sudut bangunan, tapi hasilnya nihil. Setelah cukup lama mencari, aku pun mengabari istriku. Istriku bilang bahwa sepedahku tidak mungkin hilang. Mungkin saja sepedaku dipinjam. Akupun pulang dengan perasaan sedih dan kesal. Entah kemana sepedaku raib.

Sehari semalam telah berlalu, sepedaku tak kunjung ketemu. Aku mulai putus asa. Di sela-sela keputusasaanku,  istriku yang sedang berkunjung kerumah mertuaku menelpon dan memberi kabar tentang sepedaku. Ternyata sepedaku dibawa pulang dan dipakai oleh adik iparku. Seketika aku mulai tenang dan langsung pergi kerumah mertuaku untuk mengambil sepeda itu.

Beberapa hari kemudian aku, istri dan anakku berenca untuk pulang memenuhi undangan pernikahan saudaraku yang ada di kediri lombok barat. Seperti biasa, karna kami harus menyelsaikan jam kerja, kami menggunakan publicboat terakhir pukul 3 sore. Aku dan istriku langsung menuju Bounty dengan dua sepeda andalanku. Sesampainya di Bounty, kami pergi ke rumah warga setempat untuk menitipkan sepeda, agar kami mudah mencari.

Aku, istri dan anakku ketika pulang ke Pemenang. Tampak penumpang harus berjalan menuju boat.

Aku, istri dan anakku ketika pulang ke Pemenang. Tampak penumpang harus berjalan menuju boat.

Detik menjadi menit sudah berlalu. Public-boat sudah penuh dan para penumpang berbondong-bondong menuju  boat yang cukup jauh dari bibir pantai karena air surut. Bout yang kami tumpangi tidak bisa bersandar di bibir pantai karna air aut sedang surut. Tapi tanpa kami sadari, di saat air pantai sedang surut, setiap kali boat singgah di sana pasti merusak trumbu karang. Tidak hanya jangkar, badan boat atau perahu yang mampir, singgah di pantai itu akan merusak karang. Namun aku baru sadar keesokan harinya, ketika waktu itu kami pulang dengan public-boat jam 5 sore dengan beberapa wisatawan manca negara. Kami duduk manis di boat menikmati perjalanan sambil mendengar obrolan para penumpang.

Dari kejauhan, aku melihat ombak di pesisir timur pantai Gili Meno seperti marah tanpa arah. Pada akhirnya, nahkoda pun membawa perahu kami ke pesisi pantai barat Gili Meno alias ke pantai Bounty. Laut terlihat surut. Perlahan-lahan boat yang kami tumpangi mendekat ke bibir pantai. Tampak beberapa wisatawan asing itu sontak terkagum-kagum manakala melihat dasar laut yang dipenuhi terumbu karang dan kehidupan bawah laut yang indah. Jelas terlihat karena air lautnya bening.

Wisatawn memperhatikan karang-karang di dasar laut.

Wisatawn memperhatikan karang-karang di dasar laut.

Peringatan untuk memelihara karang.

Peringatan untuk memelihara karang.

Ketika salah seorang wisatawan bertanya kepada istriku,  dengan banga berkata, “Yes this is coral garden area.” Sepontan akupun sadar bahwa area ini adalah Coral Garden. Kenapa seenaknya para boat-man melabuhkan atau menyandarkan boatnya seperti ini. Aku tak begitu paham apa di bicarakan para wisatawan itu. Tapi yang aku tahu di setiap pembicaraan mereka, mereka selalu menyebutkan kata coral, coral dan coral.

Perlahan-lahan boat pun menepi. Suara gesekan karang di dasar boat mulai terdengar dan terasa dihati. Kemudian aku pun sesekali melihat kedasar laun, tak ada rumput, tak ada batu karang. Hanya ribuan potong-potongan karang. Tidak hanya itu, berhubung boatnya tidak bisa menepi karna kandas di atas terumbu karang,  kapten boat pun meminta kami turun di atas karang-karang tersebut. Kejadian itu sangat memilukan buatku. Aku tak bisa berbuat apa, kecuali curhat ke istriku dan bercerita lewat tulisan ini.

4 komentar di “Ketika Laut Mengganas

  1. Saya kira air surut yang dimaksud adalah musiman, artinya tidak hanya terjadi sekali seumur hidup. Mm.. sebaik-baiknya pengelola (mungkin tepatnya pemerintah) sudah punya solusi menanggapi soal yang akan berulang ini.

    Mmm.. semoga pemerintahnya tidak menunda2 lagi… sebelum taman lautnya rusak, dan ekosistem jadi kacau.. ^^

Tinggalkan komentar